Eh, Warrant? Dia suka lagu seperti ini?
Terlepas dari panasnya
siang itu. dan tak seberapa banyak kata yang terlontar dari mulutku.
Fakta bahwa senyumnya kali ini hanya tertuju padaku.
Aku belajar untuk mengenalnya
sedikit demi sedikit.
Iya, sedikit perlahan yang akan menyampaikanku pada banyak
tahu tentang nya.
Untuk beberapa jam, yang aku rasakan terasa lebih cepat
waktu bergerak maju. Memang aku tak terlalu banyak bicara dengannya, sebab apa?
sebab aku cuma bisa menikmati saat nyaman berdua dengannya yang bahkan belum
terpikir, apakah di tempat mana dan di waktu apa aku bisa kembali duduk satu
meja dengan saling berhadapan serta sesekali saling pandang bersamanya seperti
saat ini?
Sudah pukul 4 sore, Tidak terasa juga aku sudah
ditinggalkannya sejak tadi.
Dalam peristiwa pertama, aku yang tanpa nyana memang sungguh bisa berduaan dengan wanita pembagi senyum yang sekian tahun menjadi pemacu detak jantung tanpa keteraturan walau lewat jarak.
Aku masih belum
beranjak dari duduk yang sejak awal setiba di kafe ini. Sudah terbayang betapa
gapehnya selama tiga jam tanpa berpindah dan tetap dengan kursi yang sama, tapi
itu cuma bayangan, karena sebenarnya selama tiga jam di sini aku bahkan tidak
merasa capek secuilpun. Aku yang dalam tiga jam menikmati setiap detik yang
terlewati dengan penawar setiap detik capekku.
Memang sendiri
sekarang aku duduk disini, namun aroma dalam udara yang berkeliaran
disekeliling masih terasa bekas dari setiap hembus nafasnya. Meski masih ingin
menikmati sisa-sisa itu, aku memutuskan untuk menyudahi peristiwa hari ini
sampai disini, sampai dimana kuat sudah kejadian ini terikat dalam, dalam
hatiku yang terlampau dalam.
oo00oo
Beberapa minggu berlalu tanpa sesuatu yang luar biasa, aku
dengan kesibukanku mencari perguruan tinggi untuk melanjutkan belajarku yang
sangat masih kurang dan akan terus kurang sampai benar pada tiba saatnya nanti
aku pergi dengan sesungguhnya.
Aku menemukan tempat dimana aku akan menuntut ilmu
sealanjutnya, di salah satu perguruan tinggi di kotaku sendiri, Yogyakarta.
Seperti yang pernah dia bilang, sewaktu kita bersama di kafe
dulu. Di tempat ini jugalah dia mau melanjutkan studinya. Tentu aku memilih
kampus yang sama, dengan harap akan bisa sering bertemu dan tidak lagi dengan
menikmati senyumnya dari jauh, namun dari beberapa centi di hadapannya.
Aku sedikit lebih berani ketimbang sewaktu SMA dulu, aku
sudah sedikit banyak mengenalnya. Dari hal-hal yang banyak orang tahu sampai
hal kecil yang hanya beberapa orang saja atau mungkin hanya aku yang
mengetahui.
Perasaan senang menggelayutiku setiap kali membayangkan
hal-hal dulu yang pernah aku lewati bersamanya, atau lebih tepatnya bersama
dengannya dari jarak puluhan meter. Tapi akan berbeda halnya jika saat nanti
aku bertemu dengannya dikampus ini di waktu selanjutnya.
Sedang dalam keasyikanku mengkhayalkan peristiwa-peristiwa
itu, aku di kejutkan dengan sesosok makhluk yang perawakannya tidak asing
bagiku. Aku yang tengah duduk di bangku taman kampus spontan saja bangkit dan
langsung terpelongo dengan satu sebab. Dia, memang dia yang dalam khayalku tadi
menjadi pelaku utama. Tanpa ragu aku menghampiri dan sebentar menghentikan
langkahnya.
“Selamat siang, nona?” sapaku tanpa ragu.
Gila, berani banar aku menyapanya dengan panggilan macam
itu.
“Selamat siang juga, eh kamu, kebetulan beberapa hari ini
aku lagi nyariin kamu.” timpalnya santai dan lalu tersenyum.
Duh Gusti, jawabnya yang ini benar-benar membuatku sedikit
melayang terbawa angin menuju muara bahagia keabadaian. Dia mencari-cariku.
“Nyariin aku, memang ada apa?” tanyaku girang.
“Eh, bentar. Kamu beneran ngelanjutin sekolah di kampus
ini?” tanyanya balik.
“Iya. Aku kan sudah bilang, aku bakal ngelanjutin sekolah
dimana disitu ada kamu. Dan kamu tentu masih ingat, inikan kampus yang pernah
kamu bilang dulu, dan katamu juga, kamu bakal ngampus di sini.” ucapku
lepas.
Aku mengajaknya untuk meneruskan pembicaraan sambil jalan.
“Iyasih, tapi inilah mengapa aku nyariin kamu beberapa
hari ini, ada yang mau aku bicarain.”
“Memangnya ada apa?”
Penasaran yang mengumpul langsung merasuk seketika. Aku
ingin tahu berikutnya.
“Begini, aku mau balik ke Jakarta, mau ngelanjutin sekolah di sana. Aku memang
pernah bilang kalau aku bakal tetap di Yogya dan ngelanjutin sekolah disini,
Tapi…”
Aku sejenak tersentak kaget dengan ucapnya yang akan
meninggalkan kota ini, atau lebih tepatnya meninggalkan perasaanku yang bahkan
belum pernah sampai.
“Tapi, aku ingin mengejar mimpiku, cita-citaku disana.
Aku dengar JKT48 akan mengadakan audisi untuk generasi kedua, dan aku tertarik
untuk mengikuti itu.” lanjutnya.
Mendengar hal itu, aku mencoba untuk mengerti. Meski jujur
aku sedikit kehilangan sebagian nyawaku yang malah hendak membuatku terhuyung
jatuh dihadapnya.
Untuk lebih tenang aku mengajaknya duduk di bangku taman
yang persis di sampingku.
Aku terdiam sesaat dan entah, sekelebat jiwaku seakan tidak
dalam satu dengan tubuh. Tapi tegurannya buru-buru menyatukan kembali jiwa dan
tubuhku.
“hey.. kamu baik-baik saja?”
“ehm.. iya, aku baik saja. Ma’af.” Jawabku teriring
berdahak.
“Harus yah kamu ngejar cita-cita dan mimpimu disana, apa
tidak bisa di sini?” tanyaku.
“Sebenernya aku sudah lama ingin menjadi bagian dari
JKT48, aku ingin belajar dan menyalurkan bakat aku. Aku ingin punya pengalaman
lebih.” Jawabnya serius.
“Cobalah pikirin lagi baik-baik, aku yakin kok, kalau pun
kamu disini kamu pasti bisa belajar lebih dan mengembangkan bakat kamu, tapi
tentu dengan usaha lebih.” Ucapku sedikit memohon.
Aku dengan perlahan mencoba merayunya untuk tetap bertahan
di kota ini, walaupun sejujurnya aku ragu dia akan terbujuk.
“Aku sudah pikirin baik-baik kok, aku yakin ini pilihan yang
harus aku ambil.”ucapnya tegas.
Seperti keraguanku, dia memang sudah sangat pasti dengn
pilihannya itu. Aku merasa senang dengan ini, kepuraanku yang seolah tidak bisa
menerima dia pergi di anggapnya serius, aku bisa melihat dari rautnya yang
tampak sangat ngotot.
“heuheu… Setidaknya ini cukup.”kataku lirih.
“Maksudnya?”
“Ini cukup untuk membuatku yakin untuk mengikhlaskan kamu
memilih pilihanmu itu. keyakinan dan keseriusan kamu dalam menanggapi sedikit
godaanku jelas terlihat tanpa goyah.”aku sedikit menjelaskan.
Keadaan yang seakan membuatku sempoyongan dan merelakannya
pergi memang masih dalam bentuk
keterpura-puraan. aku yang masih menginginkan dia tetap disini dan dia yang
terus menunjukan keyakinan akan jalan pilihannya, memaksaku untuk melakukan
keduanya secara bersamaan. Namun apa bisaku, Menanggapinya seperti ini mungkin
akan membuatnya tidak banyak berfikir tentang aku selanjutnya.
“Kamu sudah memilih jalan kamu selanjutnya, aku paham itu.
untuk beberapa hari yang kamu lakukan untuk mencari aku hanya ada satu alasan.
Iya, itu untuk menjelaskan ini dan kamu ingin mengarahkanku untuk tidak
terpengaruh dengan pernyataanmu dulu yang menyebut kampus ini sebagai tujuan
selanjutnya, karena aku yakin kamu percaya.”
“Percaya kalau aku akan melakukan apapun untuk bisa terus
dekat dengan kamu. Iya kan?"Jelasku berlanjut.
“Ma’af, sepertinya aku terlambat menjelaskan ini.”katanya.
“Untuk keputusan yang baik ma’af tidak aku butuhkan.
Selanjutnya, serius, percaya, gigih, dan terus yakin dengan cita-cita dan
mimpimu itu akan justru membuatku tenang membiarkanmu pergi.”
Tanpa sadar, sepertinya bahasa yang terlontar dari mulutku
sedikit lebih formal, entah, tapi aku sedikit merasakan itu.
“Tapi, apa kamu sendiri yakin akan tetap sekolah di kampus
ini walaupun sudah tahu aku tidak melanjutkan disini?”
“Satu yang perlu kamu tahu, dengan ini setidaknya aku bisa
merasakan tempat belajar yang sebelumnya kamu inginkan. Dan lagi kamu tidak
usah khawatir, aku tetap akan berusaha lebih disini, untuk hidupku berikutnya.”
“Terima kasih untuk pengertianmu, ini akan membantuku untuk
lebih percaya diri dan sungguh-sungguh. Dan satu lagi, aku sekalian mau
pamitan, besok pagi aku berangkat.”ucapnya terlihat lebih lega.
“Oh.. iya harus, hati-hati dan jaga diri kamu baik-baik .”balasku
singkat.
“Sampai jumpa.. do’ain aku berhasil yah?”
“Iya, pasti!”
Setelahnya dia beranjak dari duduknya, dari bangku taman
kampus itu. langkahnya meninggalkanku tanpa canggung. Sebelum terlalu jauh, aku
melontarkan kata padanya.
“Vienny!”
"Jangan lupakan
bagian kecil dari perjalanan hidup kamu ini ya? Ijinkan aku juga, untuk tetap melihat dan menikmati senyum kamu dari jauh
lagi, boleh?”
Dia berbalik dan kembali menghampiriku. Tanpa kata
sedikitpun, dia hanya memperlihatkan senyuman tulusnya tepat dihadapanku. Inilah
ijin yang di berikannya padaku.
Dia kembali pergi, meninggalkanku yang masih duduk bersandar
melihat langit cerah siang itu.
Panggilan dengan menyebut namanya menjadi panggilan pertama,
dan mungkin terakhir dalam perjalananku. Selama ini aku terlalu takut memanggil
namanya, ada sesuatu yang membuatku merasakan itu bahkan sampai detik ini aku
masih belum tahu.
Tentang perasaanku.
Aku menyadari satu hal, aku terlalu mencintainya.
0 komentar: